Dunia kini memasuki babak baru dalam perburuan mineral kritis. Ketersediaan bahan baku menjadi penentu utama keberhasilan transisi menuju energi bersih. Dari baterai kendaraan listrik hingga turbin angin, mineral kritis menjadi fondasi bagi teknologi masa depan. Namun, di balik prospek yang menjanjikan, tersimpan tantangan besar dalam hal ketersediaan, eksplorasi, hingga dinamika geopolitik global.
“Mineral kritis adalah mineral yang memiliki nilai ekonomi dan strategis tinggi, tetapi berisiko besar terhadap gangguan pasokan serta sangat sulit digantikan. Permintaannya meningkat pesat, sementara cadangannya terbatas atau terkonsentrasi di negara tertentu. Itulah sebabnya disebut critical, artinya krusial,” jelas Ernawan Jatmiko, Superintendent Eksplorasi & Geologist PT GKP.
Dari Neodymium hingga Nikel Indonesia
Menurut Ernawan, setiap negara memiliki daftar mineral kritis masing-masing. Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa, misalnya, memasukkan unsur tanah jarang atau Rare Earth Elements (REE) seperti Neodymium (Nd) dan Praseodymium (Pr), serta logam penting lainnya seperti Lithium (Li), Kobalt (Co), Nikel (Ni), Gallium (Ga), Tungsten (W), hingga Mangan (Mn).
“Di Indonesia, Badan Geologi Kementerian ESDM telah mengidentifikasi 47 komoditas mineral kritis dan strategis, termasuk lithium dan boron. Hal ini menunjukkan betapa kaya sekaligus strategisnya posisi Indonesia di mata dunia,” ujarnya.
Dekat dengan Kehidupan Sehari-Hari
Meski terdengar teknis, mineral kritis sejatinya sangat dekat dengan kehidupan masyarakat modern. Tanpa disadari, mineral inilah yang memungkinkan terjadinya transisi menuju energi hijau.
“Baterai kendaraan listrik membutuhkan lebih banyak tembaga dibandingkan kendaraan konvensional. Turbin angin juga memerlukan delapan kali lebih banyak mineral dibanding pembangkit listrik konvensional. Jika cadangan baru tidak segera ditemukan atau dikelola dengan bijak, sejumlah mineral diproyeksikan dapat habis dalam 10 hingga 70 tahun ke depan,” jelas Ernawan.
Situasi ini semakin kompleks karena dominasi China yang menguasai sekitar 70 persen industri pertambangan dan 87 persen kapasitas pengolahan mineral kritis dunia.
“Dominasi tersebut menimbulkan ketegangan geopolitik, terlebih ketika permintaan global terhadap mineral kritis diperkirakan melonjak hingga 600 persen,” tambahnya.
Masa Depan di Indonesia Timur
Indonesia menyimpan cadangan besar mineral kritis yang tersebar di berbagai wilayah. Sulawesi dan Maluku, misalnya, dikenal dengan endapan nikel laterit. Mamuju memiliki cadangan lithium dan boron. Bangka Belitung menyimpan timah strategis, sementara Papua terkenal dengan emas dan tembaganya. Namun, upaya menemukan dan mengelola mineral kritis bukanlah pekerjaan mudah.
“Tantangannya terletak pada kondisi geologi yang kompleks, lokasi eksplorasi yang sulit dijangkau, serta risiko lingkungan yang menyertainya, seperti deforestasi dan konflik lahan. Semua ini harus dikelola secara bijak dan berimbang,” jelas Ernawan.
Prospek 5–10 Tahun: Indonesia Jadi Pemain Kunci
Ke depan, Ernawan optimistis Indonesia akan memegang peran penting dalam rantai pasok mineral kritis global. Program hilirisasi nikel yang sudah berjalan dinilainya sebagai pintu masuk menuju industrialisasi yang lebih maju.
“Indonesia tidak hanya akan berperan sebagai pemasok bahan mentah, tetapi juga menjadi pemain strategis dalam industri mineral kritis dunia. Selain itu, kemitraan internasional, seperti Mineral Security Partnership dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa, membuka peluang besar bagi Indonesia untuk turut berkontribusi dalam pembentukan harga global,” ujarnya.
Fakta Unik yang Perlu Diketahui
Ernawan menekankan, ada sejumlah fakta menarik terkait mineral kritis yang jarang diketahui publik. Pertama, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Namun, sebagian besar berbentuk laterit yang sulit diolah, sehingga mendorong kebijakan hilirisasi. Kedua, isu mineral kritis tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga erat terkait dengan geopolitik.
“Indonesia harus cerdas memainkan peran agar tidak terjebak dalam tarik-menarik kepentingan global antara Amerika Serikat dan China,” tegasnya.
Terakhir, diversifikasi mineral kritis juga menjadi kunci. Ernawan menilai, masa depan mineral kritis Indonesia tidak bisa hanya bertumpu pada hilirisasi nikel. Masih ada lithium, boron, timah, tembaga, dan emas yang juga akan menentukan posisi Indonesia di panggung global.